Buletin At Tauhid Edisi 12 Tahun X
Sering kali kita mendengar perkataan yang menyatakan bahwa di antara konsekuensi mencintai ahlul bait adalah membenci dan berlepas diri dari para sahabat Nabi. Dengan kata lain, mencintai sahabat Nabi berarti telah menodai kecintaan terhadap ahlul bait. Apakah memang benar demikian? Semoga pembahasan ringkas berikut ini dapat memberikan secercah pencerahan.
Definisi Sahabat Nabi
Ibnu Hajar berkata, “Sahabat Nabi adalah setiap orang yang bertemu dengan Nabi, beriman kepadanya, dan meninggal sebagai muslim walaupun pernah murtad sebelumnya.” (Nukhbatul Fikar, hal. 230) Tentu saja derajat dan keutamaan antar sahabat Nabi berbeda-beda. Ada sahabat yang senantiasa mendampingi Nabi, ada yang hanya sebentar saja. Ada sahabat yang lebih dahulu masuk Islam, ada pula yang belakangan masuk Islam. Akan tetapi semua sahabat Nabi adalah orang-orang yang terpercaya dan merupakan generasi terbaik umat Islam sepanjang masa. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidak sama di antara kalian orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (kota Makkah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al Hadiid : 10) Dari ‘Imran bin Hushain radhiyallaahu ‘anhu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik umatku adalah generasiku, kemudian generasi yang berikutnya, kemudian generasi yang berikutnya.” (HR. Bukhari).
Wajib Mencintai Sahabat Nabi
Dari Al Baraa’ bin ‘Aazib radhiyallaahu ‘anhu beliau berkata, Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seseorang itu mencintai kaum Anshar melainkan dia adalah seorang mukmin, dan tidaklah membenci mereka kecuali orang munafik.” (HR. Bukhari). Kaum Anshar adalah sebagian dari sahabat Nabi. Telah dimaklumi bersama bahwa kaum Muhajirin lebih utama daripada kaum Anshar. Itu artinya penyebutan kaum Anshar dalam hadits di atas bukan berarti pembatasan, namun lebih kepada penyebutan “sebagian” untuk menunjukkan “keseluruhan”. Kalaupun tidak demikian, maka bisa dikatakan bahwa jika membenci kaum Anshar saja merupakan tanda kemunafikan, lalu bagaimana pula yang membenci kaum Muhajirin? Lantas bagaimana pula status orang yang saban harinya mencaci, mencerca, bahkan melaknat dua orang terbaik di muka bumi ini setelah para Nabi dan Rasul, yaitu Abu Bakr Ash Shiddiq dan ‘Umar bin Khaththaab radhiyallaahu ‘anhuma? Ahlussunnah wal jama’ah mencintai seluruh sahabat Nabi, tanpa terkecuali. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At Taubah : 100) Sisi pendalilannya: Allah tidak akan memberikan surga kecuali kepada orang yang Allah cintai. Jika Allah menyediakan surga-surga bagi sahabat Nabi, maka berarti Allah mencintai sahabat Nabi. Jika Allah mencintai sahabat Nabi, maka sudah selayaknya lah kita juga harus mencintai mereka.
Siapakah Ahlul Bait?
Istilah “ahlul bait” baik ditinjau secara bahasa maupun syar’i pada asalnya digunakan atau ditujukan khususnya untuk istri-istri Nabi, dan diperluas penggunaannya untuk menyebut semua orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam (Asy Syii’ah wa Ahlul Bait, hal. 12). Cukuplah Al Qur’an sebagai bukti bahwa istri-istri Nabi termasuk ke dalam ahlul bait. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan hendaklah kalian tetap di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyyah yang dahulu, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian wahai Ahlul Bait, dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya.” (QS. Al Ahzaab : 33). Siapapun yang membaca ayat ini tentu dapat memahami bahwa ahlul bait yang disebut dalam ayat adalah ditujukan kepada istri-istri Nabi. Bahkan semua lafazh “ahlul bait” dalam Al Qur’an yang dimaksud adalah istri yang bersangkutan, sebagaimana kisah istri Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam yang terheran-heran ketika dikabarkan berita gembira akan dikaruniai keturunan. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Mereka (para malaikat) berkata: “Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkahan-Nya dicurahkan atas kalian wahai Ahlul Bait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.” (QS. Huud : 73)
Ahlul Bait Bukan Hanya Istri-Istri Nabi
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Jika dikatakan bahwa istri-istri Nabi adalah sebab turunnya ayat ini dan bukan yang lainnya, maka pernyataan ini benar. Adapun jika yang dimaksud ahlul bait adalah hanya istri-istri Nabi, maka perlu ditinjau ulang karena banyak hadits yang menjelaskan bahwa ahlul bait lebih umum dari pada itu.” (Tafsir Ibnu Katsiir, 6/411) Setelah menyebutkan hadits-hadits yang dimaksud, Ibnu Katsiir rahimahullah menyimpulkan, “Yang dimaksud dengan ahlul bait bukan hanya istri-istri Nabi, tetapi mencakup juga keluarga besar Nabi. Pendapat ini lebih kuat karena merupakan hasil penggabungan antara riwayat-riwayat yang ada, dan juga sekaligus menggabungkan antara penjelasan dari Al-Qur’an dengan hadits-hadits tersebut –inipun jika haditsnya shahih, karena sebagian sanad hadits-hadits itu tidak lepas dari kritikan-.” (Tafsir Ibnu Katsiir, 6/415)
Kedudukan Ahlul Bait di Mata Salaf
Salaf terbaik umat ini, Abu Bakr Ash Shiddiiq radhiyallaahu ‘anhu memberikan kesaksian. Beliau berkata kepada ‘Ali bin Abi Thaalib radhiyallaahu ‘anhu, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, berbuat baik kepada kerabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam lebih aku sukai daripada kepada kerabatku sendiri.” (HR. Bukhari) ‘Umar Al Faaruuq radhiyallaahu ‘anhu pada masa pemerintahannya jika dilanda musim kemarau yang berkepanjangan, hujan tak kunjung datang, maka beliau ber-istisqa’ (meminta hujan kepada Allah) dengan perantaraan paman Nabi (yang masih hidup ketika itu-red), Al ‘Abbaas bin ‘Abdil Muththalib radhiyallaahu ‘anhu. (HR. Bukhari)
Mencintai Ahlul Bait Yang Beriman
Di antara ciri ahlussunnah wal jama’ah adalah mencintai dan menyayangi orang-orang yang beriman. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia, mereka keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka…” (QS. Al Fath : 29) Yang menjadi tolok ukur adalah keimanan. Jika ahlul bait tersebut beriman, maka wajib bagi kita untuk mencintainya. Apalagi jika ahlul bait tersebut sekaligus berstatus sebagai sahabat Nabi, tentu lebih besar lagi kecintaan kita kepadanya. Ditambah lagi dengan adanya wasiat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam agar kita berbuat baik kepada ahlul bait nya. Beliau bersabda yang artinya, “… dan ahlul bait ku. Aku ingatkan kalian agar bertakwa kepada Allah, hendaknya kalian berbuat baik kepada ahlul bait ku.” Beliau mengulangnya sampai 3 kali. (HR. Muslim) Di antara berbuat baik kepada ahlul bait adalah mencintai mereka karena keimanan dan kekerabatan mereka dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bukan semata-mata karena garis keturunan atau kedekatan hubungan.
Status Ahlul Bait Bukan Jaminan
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu beliau berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai keturunan ‘Abdu Manaaf, bebaskanlah diri-diri kalian dari adzab Allah… Wahai keturunan ‘Abdul Muththalib, bebaskanlah diri-diri kalian dari adzab Allah… Wahai Ummu Az Zubair bin Al ‘Awwaam, bibi Rasulullah… Wahai Fathimah bintu Muhammad, bebaskanlah diri-diri kalian dari adzab Allah, sesungguhnya aku tidak kuasa membela kalian di hadapan Allah kelak. Mintalah kepadaku dari harta yang aku miliki berapapun yang kalian inginkan.” (HR. Bukhari) Seorang penyair berkata,
Demi Allah, nilai seorang manusia itu tergantung agamanya
maka jangan kau tinggalkan taqwa karena mengandalkan nasab
Sungguh Islam telah mengangkat derajat Salman Al Faarisi
dan kesyirikan telah menjatuhkan kemuliaan nasab Abu Lahab
Mencintai Sahabat Nabi Tidak Bertentangan dengan Mencintai Ahlul Bait
Jelaslah sudah bagi yang memiliki hati yang bersih dari hasad dan dengki, akal pikiran yang tidak teracuni virus dendam dan kebencian, bahwa mencintai sahabat Nabi tidak bertolak belakang dengan kecintaan terhadap ahlul bait. Bahkan keduanya berjalan seiring dalam bingkai iman dan taqwa. Semoga dengan mencintai mereka dapat menghantarkan kita masuk ke dalam surga. Sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya, “Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Wa shallallaahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammadin wa ‘alaa aalihii wa shahbihii wa ahli baitihii ajma’iin. Markaz Ar Rayn, Riyadh, KSA Penulis : Ustadz Teuku Muhammad Nurdin